Sedih, mungkin itu perasaan setiap Ibu jika anak balita-nya hanya lahap kalau makan mie instan. Dibalik kepraktisan dan rasanya yang ‘enak’, tersimpan bom waktu.
Selain karbohidrat dalam jumlah besar dari gandum yang mengandung gluten, mie instan mengandung minyak jenuh yang masuk pada proses penggorengan. Ditambah lagi dengan kandungan sodium yang tinggi pada bumbu-nya. Kedua-nya jika dikonsumsi terus-menerus dalam jangka waktu lama, tentu kemungkinan penikmat mie instan mengalami gangguan kesehatan semakin besar
Dengan mie instan, balita memang bisa makan dengan lahap, tapi efek jangka panjang-nya sangat merugikan. Apalagi terhadap anak-anak yang sensitif / alergi terhadap kandungan mie instan dan bumbu-nya : gluten, sodium (Garam & MSG), setelah makan lahap, pasti efek-nya langsung terasa : kulit memerah, tenggorokan kering, haus berlebih, hiperaktif dll.
Bagi anak balita ‘rasa’ memang kerap menjadi alasan utama dia mau makan atau tidak. Pada umumnya mereka lebih menyukai rasa gurih dan manis, karena itu mie instan dan camilan manis sering menjadi pilihan.
Tapi, sebagai orang tua bijak, harusnya kita lebih memikirkan masa depan ketimbang kenyamanan sesaat. Kalau kata motivator “lebih baik kehilangan masa kecil dibanding dengan kehilangan masa depan“.
Pilihan kaldu, bumbu masak bahkan mie instan dan bumbu mie instan yang sehat saat ini dengan mudah dapat diperoleh. Menjelang tahun 2010 kita pernah temui mie sehat dari pabrikan besar, walau masih tanggung : proses pengawetan mie masih digoreng yang artinya kandungan minyak lebih tinggi. Ada juga produk mie untuk anak-anak, tapi sayang masih mengandung pengawet pada bumbu-nya.
Tapi perkembangan ragam produk pangan sehat semakin baik. Bisa jadi ini pengaruh dari meningkatnya tingkat pendidikan, berefek pada naiknya kelas menengah yang mempunyai daya lebih lebih baik, karena memang produk sehat ini pada umumnya mematok harga lebih tinggi dibanding produk reguler.
Entah karena faktor bahan baku, atau karena belum bertemu dengan nilai keekonomian yang sama dengan produk reguler akibat dari skala produksi yang masih relatif kecil. Tetapi persaingan memicu semua produsen menghasilkan produk terbaik dengan harga paling ekonomis.
Misalnya, saat ini kaldu non msg bisa diperoleh dengan harga Rp. 146,6/gram atau Rp. 22.000/botol 150 gram, saat beberapa tahun lalu harga kaldu tanpa msg masih dipatok di Rp. 250/gram atau Rp. 37.500/botol isi 150 gram. Pengusaha IKM pangan sehat-pun tidak perlu khawatir kesulitan mendapatkan ‘penyedap’ sehat ini, karena beberapa merek menawarkan bumbu serbaguna ini dalam kemasan curah, 1kg, tentu jatuh per gram-nya jauh lebih murah.
Akhirnya, hidup sehat itu tinggal pilihan. Semoga 1-2 tahun lagi harga produk sehat setara dengan harga produk reguler, sehingga setiap orang tua bebas memilih pangan sehat mana yang disukai-nya, tanpa harus kembali menghitung harga. Seperti mie instan yang awal kemunculannya menjadi produk premiun, dan sekarang makin terjangkau semua pihak.
0 Komentar